Kuharap Kau Mengerti
Sore itu aku
pulang dengan kawanku berdua saja menuju ke terminal angkutan umum. Rumah kami
tidak sejalur, maka dari itu kami berpisah setelah kami mendapatkan angkutan
umum tujuan rumah kami. Waktu itu pukul 15.15, sebelum kami pulang temanku
melihat seorang anak laki-laki berkaos hitam dengan celana basket warna putih
merah dan sepatu basket warna hitam dengan ransel sekolah di punggungnya di
persimpangan menuju terminal angkutan umum. Arah kami berlawan dengan anak itu.
“Anak itu kalau sudah dewasa pasti keren”, katanya. Aku tak menjawab
kata-katanya, hanya membalas dengan ekspresi masa bodoh. Lalu aku menengok ke
arah anak itu, “lumayan..”, kataku sambil tersenyum sinis pada kawanku.
Akhirnya kami pun berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan
paginya seperti sebelum-sebelumnya, cukup cerah dan menyenangkan karena
pelajaran pertama kosong. Aku dan teman-temanku yang lain duduk-duduk di depan
kelas sambil memperhatikan adik-adik kelas yang lalu lalang di lapangan, sibuk
kesana kemari berpindah kelas. Kelasku berada di lantai bawah dan sangat kumuh,
berbeda sekali dengan kelas-kelas baru di dekat lapangan badminton itu, serta
kelas-kelas di lantai dua yang terlihat sangat berkilau karna memang gedungnya
masih baru. Aku mengamati setiap kelas itu dan meratapi nasibku sendiri di
kelas yang kumuh ini. Mataku tertuju di sebuah kelas di pojok atas dekat dengan
kelasku, aku nyaris tak pernah naik ke lantai dua karna kelasku selalu ada di
bawah. Setelah kuamati cukup lama, aku melihat anak laki-laki yang kemarin
kulihat dengan kawanku ketika pulang sekolah. Tanpa ragu aku menanyakan kepada
temanku, siapakah anak itu. Dengan semangat temanku menjelaskan, aku pun hanya
bisa manggut-manggut mendengar penjelasannya.
Tiba-tiba
hpku bergetar, ternyata ada 1 pesan masuk. “Mba..”,
isi sms itu. Ternyata dari Sandy, adik kelasku. Dengan segera aku membalas
pesannya dengan nada judes “Hih, lagi
pelajran malah smsan!”, balasku. Kami pun akhirnya saling berkirim sms
sampai waktu istirahat tiba. Menyenangkan memang bisa dekat dengannya, namun
terkadang timbul perasaan bersalah karna ternyata belakangan hari ini pacarnya
sering marah-marah karna aku terlalu dekat dengannya. Cintya, pacarnya itu pun
yang juga mengenalku, namun karna aku lah penyebab kemarahan Cintya, hubungan
kami pun tak sedekat dulu lagi. Mereka berdua tidak lagi akur sejak Sandy dekat
dengan ku, aku pun terkadang jadi khawatir dengannya, tapi dia seperti tak
pernah menghiraukan pacarnya dan terkesan lebih memilihku.
Pukul 15.30
aku baru sampai di rumah. Badanku lemas sekali, seperti tidak ada energi lagi
dalam tubuhku, kuhempaskan tubuhku di spring bed nan empuk dengan bantal guling
favoritku yang selalu kupeluk saat tidur. Keinginan untuk mandi pun hilang
karna rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk bangkit dari ranjang ini.
“Drrr…drrrt..” hpku bergetar lagi.
Cepat-cepat ku ambil dari sakuku, ternyata SMS dariSandy, kini semakin hari
rasanya aku makin dekat dengannya meskipun aku tahu dia telah memiliki kekasih.
Namun ku piker saat ini tidak ada salahnya untuk tetap dekat dengannya, lagi
pula aku memang menyukainya biarpun hanya sedikit. Tiba-tiba aku teringat
dengan Satria, anak laki-laki yang ku lihat di persimpangan itu. Karena rasa
penasaranku yang tinggi aku pun menanyakannya pada Sandy, ia memang cukup asyik
sebagai teman curhat, sifatnya yang lumayan dewasa membuatku merasa tidak ada
selisih usia, dengan gamblang ia menjawab keluh kesahku. Begitu besarnya rasa
penasaranku, aku pun akhirnya mencoba menanyakan nomor hp-nya, untuk sekedar
berkenalan. Namun tenyata nama Satria tak ada dalam kontak di handphonenya.
Hari-hari
seperti biasa ku lewati, ujian uji coba sudah berkali-kali dilaksanakan, tetapi
nilaiku tidak ada perubahan, hanya sedikit saja kemajuannya, kalau begini
bagaimana bisa aku lulus dengan rata-rata tinggi dan masuk ke sekolah lanjutan
favorit. Aku menundukan kepalaku seperti orang yang mau pingsan. Akan tetapi, rasanya
hal itu hanya sekejap saja buatku karna setiap hari Sandy selalu memberiku
semangat dan aku pun bisa bangkit lagi. Terkadang terlintas di pikiranku, untuk
menghentikan hubunganku dengan Bagas, aku sudah tak tahan lagi dengan sikapnya
yang kekanak-kanakan, padahal kami sudah menjalin hubungan lebih dari 1 tahun,
tapi kini kami seperti tak saling mengenal. Aku pun sedih jika mengingat
pengorbanan yang ia lakukan demiku, namun apa mau dikata sifatnya yang seperti
itu membuatku tak bisa menahan kesabaran lebih lama lagi.
“Hmm, hari yang menyenangkan tanpa les..”
gumamku ketika menunggu ibuku menjemputku dari sekolah, sambil mengamati
jalanan dan lalu lalang kendaraan. Dari sebrang jalan tak sengaja aku melihat Sandy
bersama dengan temannya, namun kali itu bukan dengan teman sekelasnya, dan
mereka terlihat akrab, iseng saja ku tanyakan padanya siapakan temannya itu,
lalu ia pun menjawab, “Buyung”.”Oh..” jawabku, tak lama kemudian ibuku
dating menjemputku dan aku pun bergegas pulang. Sesampainya di rumah, seperti
biasa 1 SMS langsung ku kirim ke nomor Sandy, ternyata dia masih di sekolah,
karena teringat dengan temannya aku pun dengan cepat menanyakan segala sesuatu
tentang kawannya itu. Lagi-lagi rasa penasaranku muncul, aku pun meminta nomor
hp kawannya itu, dalam hitungan detik aku pun mendapatkannya.
Langsung saja
aku pun mengirim sebuah pesan untuknya sebagai perkenalan, tak perlu menunggu
lama balasan darinya pun ku dapat. Ternyata dia cukup ramah dan cukup menarik
juga untuk lebih mengenalnya. Namun dia sedikit menyebalkan, terkadang bersikap
dewasa dengan selalu menasihatiku, padahal dia itu sangat kekanak-kanakan kalau
menurutku.
Hari demi
hari berlalu, Buyung pun sudah mulai membuka dirinya dan aku pun tak lagi
enggan untuk bercerita padanya mengenai berbagai hal, aku sebenarnya selalu
ingin menceritakan kepadanya tentang seorang anak yang kulihat waktu itu. Walau
sedikit ragu, akhirnya ku ceritakan hal tersebut padanya, ternyata Buyung
mengenalnya, “Fuuuh…” lega sekali aku
mengetahuinya, hal itu berarti mungkin ada sedikit harapan untuk bisa
mengenalnya, dan dengan jujur aku pun menceritakan maksudku tentang hal yang ku
ceritakan padanya, dan dia pun mengerti. Akhirnya aku pun menanyakan tentang
nomor hpnya, dan aku pun mendapatkannya. “Yahuuuuu…!!”
rasa senangku tak terbendung, dengan segera aku pun mengirim pesan ke nomor
yang baru saja kudapat.
Ternyata tak
semudah kelihatannya, Satria terlalu cuek dan sulit untuk didekati. Dengan
sabar aku pun tetap berusaha dekat dengannya, bagai mencari jarum dalam jerami,
yang perlu ku lakukan adalah menggunakan magnet yang kuat untuk mendapat jarum
itu, dan itulah sulitnya. Seperti batu yang sangat keras, aku tak tahu berapa
lama aku dapat mengikisnya. Tidak seperti junior-juniorku yang lain, dia itu
terkesan ‘sok jual mahal’ aku jadi
terkadang bosan dengan sikapnya yang seperti itu.
***
1 bulan, 2
bulan, 3 bulan, sepertinya sulit sekali aku menemukan jarum itu, sulit sekali
aku mengikis hatinya. Sampai akhirnya aku tahu ternyata dia telah menyukai
seorang gadis yang satu kelas dengan Buyung, aku pun pupus. Semangatku yang
membara seperti hilang tertiup angin yang bertekanan tinggi. Tiba-tiba aku
teringat kembali bahwa aku pun juga masih memiliki kekasih, betapa bodohnya aku
mengejar laki-laki lain dan meninggalkan kekasihku sendiri. Aku pun akhirnya
mencoba untuk memperbaiki hubunganku dengan Bagas yang sempat tak jelas
kelanjutannya, namun ketika aku ingin kembali lagi pada kekasihku, Satria mulai
menunjukan sifat aslinya, dia pun seperti membuatku berhenti untuk berjalan,
dia seperti palang kereta api yang melarang siapa saja untuk bergerak maju. Aku
pun tak punya pilihan, aku harus jujur dengan perasaanku ini bahwa aku ternyata
memendam perasaan padanya. Aku tak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau
salah. Akhirnya aku pun memilih keduanya, apakah aku mendua? Aku pun bingung
dengan apa yang ku lakukan saat ini.
***
Januari,
bulan favoritku di antara keduabelas bulan yang lain, karena biasanya ada
banyak hal menarik selama bulan ini dan juga ulang tahunku di bulan ini. Tapi
sepertinya tidak untuk kali ini, keberuntungan tidak ada padaku saat ini,
masalah demi masalah datang bertubi-tubi. Di akhir bulan ini pun akhirnya aku
memutuskan hubunganku dengan Bagas, bukan karena Satria, Buyung, atau pun Sandy,
ini karna kesalahanku yang selama ini memang terlalu jauh dan egois sampai aku
lupa dengannya.
Biarpun
cukup menyedihkan, tapi aku tetap bahagia karna salah satu bebanku selama ini
sudah sedikit berkurang. Aku juga senang karna dengan berpisahnya aku dengan
Bagas, aku lebih leluasa untuk berteman dengan siapa saja yang aku inginkan.
Penyesalan memang ada, tapi aku mencoba untuk melupakan hal itu, aku ingin
membuang masa laluku karna aku tak bisa hidup bila selalu melihat masa lalu
itu. Keputusan kami untuk berpisah ternyata kurang disetujui oleh beberapa temanku,
karna menurut mereka kami sudah sangat cocok, tapi apa boleh buat, ini sudah
keputusan akhir kami.
Hari
berganti hari, aku pun menyibukan diriku dengan soal-soal latihan UN dan
sesekali aku menghibur diriku dengan alunan musik-musik Big Bang. Semakin dekat
pula hubunganku dengan Satria, aku tak tahu bagaimana awal mulanya, tetapi
sepertinya kami sudah begitu dekat meskipun pada kenyataannya kami tak pernah
berbicara ataupun bertatap muka secara langsung di sekolah. Aku tahu mungkin
sulit baginya karna aku adalah seniornya, dan bila ku lihat cukup janggal juga
karna aku lebih tua dua tahun darinya. Jarak usia yang menurutku cukup jauh,
tak membuat hubunganku dengannya menjadi canggung, kami tetap menjalaninya
walau kami pun tak tahu hubungan apa yang kami jalain saat ini. Tak terasa juga
UN pun semakin dekat, hampir satu bulan lagi, kini ia tak lagi hanya sekedar
junior, ia telah menyuntikan sebuah semangat mendalam dalam diriku, semakin
gencar juga aku untuk bertempur di medan UN.
Bagaikan
kronologi dalam hidupku, kini ku sudah menapaki bulan Maret dan tak lama lagi
aku akan menghadapi UN. Namun semakin hari juga aku semakin bingung, namun tak
lama kebingungan itu pun sirna, bukan karna apa-apa tapi suatu hal yang tak
kuduga sebelumnya terjadi, tepat hari ini, Kamis, 10 Maret 2011 aku dan Satria
mencapai sebuah kesepakatan. Terdengar seperti sebuah perjanjian damai, tapi
ini bukan, setelah percakapan cukup panjang yang bermula dengan
ketidaksengajaanku menanyakan tentang kejelasan hubungan kami, kami pun
akhirnya berpacaran. Aneh, memang aneh, tapi inilah kami, aku juga tak dapat
menolak karna aku memang menyukainya sejak lama. Apakah terdengar bodoh? Sangat
! Apakah terkesan beda? Pasti ! Tapi aku suka ! yah, mau bagaimana lagi ini
juga sudah keputusan akhirku.
Memutuskan
untuk mengakhiri masa lajang dengan cepat buatku adalah masalah, karna tak lama
lagi aku akan menghadapi UN. Sejak awal aku memang salah, tapi aku juga tak
ingin menyia-nyiakannya, aku sudah menyukainya sejak lama, bahkan ketika aku
masih berhubungan dengan orang lain. Akan tetapi dia sudah mengerti dengan
keadaanku ini, dan aku pun mengerti bagaimana dia.
“Hmm..,” kata Satria cuek, seperti
biasanya.
“Bisa katakan yang lain selain itu?”
jawabku.
“Mba, aku suka kamu..,” katanya, sedikit
ragu.
Aku pun memeluknya, “Haha,
iya dek. Aku juga suka sama kamu, suka banget, paling suka di seluruh dunia.”
Kami pun menjalani hubungan ini tanpa ada satu orang pun
yang tahu, bahkan kawan dekatku pun yang sudah berkali-kali kuberitahu juga tak
mempercayainya.
Hari-hari kulalui
seperti biasanya, semangatku pun semakin bertambah berkat suntikan-suntikan
semangat yang selalu ia berikan. Bagiku dia tak sekedar anak laki-laki, namun
buatku dia bagaikan oasis di gurun hatiku yang gersang tanpa ada air, dan ialah
yang menyegarkanku.
***
“Heh, may!” kata Naila
Dengan ekspresi wajah bodoh aku pun menjawab,”Haah..apa?”
“Jangan mikirin Satria
terus! Satria kan sudah sama pacarnya, kenapa masih mikirin dia terus?”
katanya tegas
“Hmm…,” jawaban
ala Satria inilah yang selalu kuucap
“Dasar, bocah ini!”
katanya sambil memelukku
Tak terasa bulan demi bulan kulalui, kini aku sudah tak
bersamanya lagi. Dia memutuskan hubungan kami dengan alasan yang tak jelas, dan
yang lebih menyakitkan ternyata dia sudah memiliki kekasih lagi setelah
beberapa hari kami memutuskan hubungan, tapi itu bukan apa-apa ternyata
seminggu sebelum kami putus, dia sudah berani berbuat yang tidak-tidak. Dia
menyatakan cintanya pada dua orang sahabatku, aku pun tak mengerti permainan
apa yang dia lakukan.
Kini
semangat dalam hidupku telah hilang, aku berusaha untuk tegar, namun aku sudah
cukup tersakiti, dan kini nyawaku seperti tak lagi hidup, yang hidup hanyalah
tubuhku ini. Sedikit demi sedikit ku lupakan kesedihanku, segala cara ku
lakukan, namun seperti aku tak bisa lagi hidup. Namun sekeras apapun aku
mencoba untuk menutupi segala kesedihan ini dengan tertawa, aku tetap tak bisa.
Aku mencoba untuk bangkit, namun tubuhku selalu sebaliknya, tubuhku semakin
lemas dan tak bertenaga, penyakit-penyakitku mulai tumbuh lagi.
Kami sudah
tak satu sekolah lagi, sehingga sulit bagi kami untuk bertemu, mungkin itulah
yang menyebabkan ia menjadi seperti ini.
“Mba?” kata teman sebangkuku
“Hmm..” jawabku
“Lemes banget
kayaknya…” tanyanya, penasaran melihatku yang kelihatannya selalu suram.
“Emang, udah ilang
semangatku,” jawabku lemas
“Mesti gara-gara Satria,”
ia berkata
“Ya mesti,”
jawabku cepat
“Sabar yah,”
katanya, member semangat padaku
“Iya..makasih ya,”
jawabku kemudian
Berbulan-bulan sudah aku menjalani hidupku tanpanya lagi,
namun kata-katanya seperti selalu terdengar di telingaku. Mengingatkanku pada
saat itu. Bel istirahat berbunyi, tidak ada satu pun pesan di layar
handphone-ku seperti biasanya. Waktu istirahat kuhabiskan untuk membuka
jejaring sosial Facebook, 1 pesan terlihat. Segera aku mengecek pesan yang baru
terlihat itu, ternyata dari salah satu kawan Satria, yang berisi bahwa saat ini
Satria sedang berada di Rumah Sakit karna penyakir Leukimia yang dideritanya.
Mendengar kabar itu aku pun menangis seketika, apa yang terjadi? Bagaimana
bisa? Dia tak pernah sakit separah ini. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat
ini. Sampai malam pun aku tak bisa tidur karna selalu memikirkannya. “Drrr…drrrt..” hpku bergetar, satu pesan
diterima. Ternyata dari Satria, tak biasanya dia mengirim pesan padaku.
“Mba..”, isi smsnya
“Apa?” balasku
“Aku sakit,” balasnya lagi
“Aku tau, cepet
sembuh yaa, aku nggak tega lihat kamu sakit-sakitan kaya gini,” balasku
“Iya mba..,”
balasan terakhir darinya
Setelah seminggu berlalu akhirnya keadaannya kembali
pulih. Aku pun kini cukup tenang karna kekhawatiranku akhirnya berangsur-angsur
hilang, namun ia cukup berbeda dari sebelumnya. Ia seakan-akan datang lagi
dalam kehidupanku, mengisi lagi gelas-gelas jiwaku yang kosong.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar