Diawali pada jaman dahoeloe kala..
Kakek tua-renta bersama cucunya(10 thn) bepergian ke Negri
“Nunjauh” melintasi empat Negri berpadang pasir dengan seekor Keledai kurus.
Diawal perjalanan mula-mula sang cucu menunggangi keledai tersebut
sampai di Negri Pertama dan disambut oleh penduduk dengan kata makian yg
ditujukan pada sang cucu “Cucu durhaka, teganya menyiksa sang kakek renta
berjalan ditriknya panas matahari”,
….no coment..,
“gantian donk ,
giliran Kakek sekarang naik keledai ke Negri Kedua”
..sesampai di Negeri
Kedua disambut cacian penduduk ” Kakek kurang ajar , udah bau pasir (alias ajal
hampir tiba), enak aja naik keledai sendirian
…no coment..kemudian
kata kakek ” Yuk..naik berdua menuju Negri Ketiga..”,
Tiba di Negri Ketiga
disambut yel..yel..”sadis banget nih Kakek and Cucu,..tidak berprikeledaian,
nyiksa binatang yang udah kuyus..”
…no coment…
lanjut cerita untuk
menuju Negri Berikutnya , sang Kakek mengajak cucunya berdua menggusung sang
keledai melintasi padang pasir untuk melanjutkan perjalannya..,
sesampai di Negeri
Keempat …disambut dengan caka lele(tarian rakyat modern dijaman itu) sambil
diteriaki..
” Orang Gila..Orang
Gila”
… no coment..,
sasampai di gubuk , sang cucu bertanya pada sang kakek ” kok.. tanggapan orang
macam-macam ya..kek!!?”,
jawab kakek ” biarin
aje.., emank nya gue pikirin, seandainya pun kita hanya menarik keledai ..
pasti mereka katakan..Kakek dan Cucu adalah binatang yang lebih goblok dari
keledai”…
Cerpen Budaya: Cerita Tiga Lelaki
Air mata telah mengalir sepanjang jalan desa Yilaga.
Bersahut lengking burung cerek yang terbang berombongan sebelum malam mengelam.
Bocah-bocah suku Dani cepat berjalan pulang, bukan karena suara “krek-krek”
burung itu yang menyakitkan, tapi malam memang selalu menakutkan buat kesucian
mereka.
Namun lonceng gereja
tetap berkumandang. Hari minggu, suara lonceng kecil itu akan tetap mengusik
telinga, terutama di kalangan suku Dani yang masih bertebaran di sepanjang
kecamatan Mapenduma.
Senandung lelaki itu
pun mungkin masih akan terdengar bergumaman di sepanjang desa yang berwajah
hutan. Berpadu dengan suara kus-kus, burung cerek dan dedaunan pohon liar,
barangkali Yilaga akan tetap damai, tenang dan aman bila tidak muncul bunyi
jerajak sepatu dan senjata dikokang. Tapi semua harus terjadi, malam akan jadi
mirip pasar. Pasti akan ada rentetan peluru, orang-orang yang berlari panik dan
bau kematian yang telah menyergap. Amis, sungguh amis sekali kekelaman ini.
Itulah yang
berpecahan di telinga Mundro. Malam di kecamatan Mapenduma tiba-tiba saja
tersayat. Kepala Mundro kini telah berputar cepat. Naluri untuk mempertahankan
hidup pun mulai bereaksi atas serangan mendadak musuh. Sudah beberapa bulan ia
hidup berpindah, sekarang nyawa baginya tak lebih dari kertas tipis yang siap
untuk diterbangkan angin.
Tak ada lagi lamunan.
Semua pecah! Mundro telah melesat dari pembaringan.
“Mana, mana senjata?
Sial! Ditaruh dimana?”
Kakinya cepat
menelusuri ruangan. Spontan meraih senjata yang tergeletak tak karuan di bawah
meja. Peluru! Peluru! Mundro segera keluar dan melesat di rimbun semak liar
sebelah utara rumah.
Tapi suara berkerosak
membuat langkah kakinya yang tegap, keras dan liat jadi tertahan. Tubuhnya
bergetar, kupingnya terangsang.
“Mundro, kakak
Mundro. Saya adik Waina!”
Refleks, kaki Mundro
meloncat dan menerjang ke arah suara. Didapatinya tubuh yang tergolek lemah.
Rupanya lelaki muda itu sedang sekarat.
Diciuminya tubuh
Waina yang tersungkur.
“Kakak Mundro, pergi!
Tak ada lagi yang tersisa disana. Cuma darah. Cuma darah, Kakak. Dan bangkai.
Pergi lekas. Tapi jangan lewat mata air. Pergi ke sungai sana, ke sungai
jernih. Roh kami akan menyertai kakak selamanya.”
“Adik…”
“Pergilah sana!
Apalagi yang Kakak beratkan? Saya juga akan mati. Percayalah, sebentar lagi pun
saya akan mati.”
Dan Mundro makin
bergejolak. Rasa takut telah dikalahkan oleh mata gelap, dia malahan
mengepalkan ototnya. Mata nyalang sambil menggenggam senjata teracung. Tubuh
yang keras bersama gelap malam itu kemudian menyeruak di antara semak dan
pepohonan liar. Mundro berlari ke arah seluruh bunyi tembakan tadi berasal. Dia
tak mau lagi ambil perduli, apakah senjata mereka masih di pinggang atau sudah
siap menyerang.
“Adik Waina, mati
muda! Hooi, musuhhh! Kecil saja, kau tak tahukah? Maju, lawan ini, putera
pemberani Mundro! Akkkhhhhh…”
Sebuah peluru terlalu
cepat sekali datang dan menghantam pahanya. Kena, Mundro mengerang. Dia terjerembab,
tak mampu mengetahui dari arah mana peluru tadi berasal. Suara Waina tiba-tiba
saja terngiang kembali di telinganya. Matanya berkeliling. Bayang wajah
sobat-sobatnya bagaikan telah menjadi roh yang nyata berteriak dan menggema di
sepanjang jalanan hutan yang kelam. Menariknya agar menjauh dari medan
peperangan dan pembantaian. Dia bagai terseret oleh tenaga dashyat.
Tersaruk-saruk. Jatuh terlempar senjatanya di rimbun pohon hutan yang luas tak
terkira. Sementara suara peluru makin menghilang di belakang kepalanya. Dan
Mundro baru sadar ketika lari membuat dada hampir meledak. Menggelosor tubuhnya
di pinggir batu sungai, tergeletak kepayahan di atas tanah yang lembab.
Lamat-lamat,
dirasakan Mundro percik air sungai menyiram kepalanya. Dingin, sejuk sekali.
Matanya masih mengedarkan pandang mencoba mengembalikan kesadaran untuk tahu
dimana kini tubuhnya berada…
Medio Desember,
bendera hitam-putih-merah di sebelah kiri dengan dua belas bintang di sebelah
kanan memang sempat berkibar di setiap pojok kota Jayapura. Walau pun tak
mendapatkan reaksi meriah dari kabupaten yang lain, namun sejarah adalah aliran
air sungai yang akan membawa rahasianya ke laut.
Dan bocah-bocah di
pinggiran sungai itu akan tetap menari. Bertelanjang badan, dilekati pasir,
mereka akan terus berlari dengan penuh keriangan hati…
Kecamatan Kuyawagi,
beratus meter dari dusun Yilaga, berbulan setelah peristiwa kematian Waina...
“Selamat malam,
Gobel. Keributan seminggu yang lalu ternyata belum selesai juga. Masih banyak
musuh yang berkeliaran di desa Yilaga. Entah apa maunya mereka. Tiba-tiba saja
masih muncul serangan pada beberapa saudara kita yang mencari makanan
tambahan,” beritahu saya sambil melempar noken ke ujung bilik yang kami jadikan
sebagai tempat persembunyian darurat di hutan.
“Dan kalian berhasil
membalasnya?”
Saya lihat si muda
Mundro melepas kaus oblongnya yang telah berbau keringat. Sambil menggerutu,
“Aku sudah jadi seperti harimau saja. Selalu perang dan perang, dikejar dan
mengejar.” Lalu kedua matanya yang hitam putih di antara wajah yang berkerut
itu mengerling cepat. Saya memberikan senyum kepadanya.”
“Puluhan dari kita,
tapi sedikit dari mereka. Bagaimana, Gobel? Tidakkah itu menakutkan bagimu?”
jawab saya sambil mencomot dua potong ketela bakar yang masih tersisa di atas
meja.
“Apa?” Gobel
terkaget. Ditangkapnya tangan saya, seketika kekekaran beradu dalam getaran
tangan ketika kami saling mencekal. Dua lelaki nampak mengadu kejantanan.
“Bodoh, Titus! Kenapa
bisa sebanyak itu dari kita? Mengapa? Mereka kawan kita, yang bisa terhitung
jumlahnya. Habis, habislah kita…”
Sambil terus
berteriak, Gobel terus mengguncang tubuh saya. Saya yang kebingungan setengah
bercampur takut, cuma bisa menatapi wajah pemimpin yang dihormati dengan rasa
tak percaya. Tapi tampaknya memang kecemasan yang membuat dia jadi panik
semacam itu. Walau kesal, namun saya berusaha tahan untuk jadi bulan-bulanan
Gobel.
Tapi si Mundro telah
berpaling dan melompat. Ditatapnya saya dan Gobel dalam-dalam. Lama. Cukup
lama.Hingga tiba-tiba dadanya jadi bergetar keras. Sesak, dibantingnya kepala
kuat-kuat ke kayu tiang penyangga rumah. Lalu dia meraung seperti bunyi
genderang pemujaan seorang dukun kepada dewa-dewa. Bicaranya patah-patah.
Begitu tersendat.
"Kematian
Wellem, Jhony, adik Waina, bisakah aku menangis? Bisa, Gobel dan Titus? Tapi
mengapa kalian masih saja bertengkar di tengah perang? Setelah lama kita tak
punya rumah, tak punya apa-apa lagi yang bisa dimiliki. Lelah dalam pelarian di
hutan yang sebenarnya milik kita. Lalu dikatakan sebagai pengacau di hutan yang
bersahabat dan mengenal kita sejak kecil. Aku tak tahu. Aku tak mengerti,
Gobel. Entah semua!" matanya tiba-tiba berkilat memandangi kekerasan wajah
dan hati sang pemimpin.
Benar, Gobel sobat
kami. Tapi keberanian Mundro tiba-tiba saja jadi saya syukuri. Tepatnya, saya
dan Mundro sungguh tak selalu mau dipersalahkan pada kejadian-kejadian yang tak
sepenuhnya dapat kami kontrol secara penuh. Lalu siapakah Gobel? Mungkin cuma kacamata
dan kepandaiannya saja yang mampu menguasai kami. Tapi ketakutan ini sungguh
telah berujung pada sebuah pemikiran yang tak bisa dipermaklumkan.
"Gobel, bisakah
rohku ini menyeret sobat-sobat untuk kembali ke jasad yang pecah karena peluru
itu? Dan dewa, siapa dia sekarang yang patut kita percayai lagi? Jawab, Gobel!
Jawab!" teriaknya sambil maju mendekat ke tubuh sang pemimpin. Lalu
terdengar sedikit bunyi sobekan, karena saya dengan cepat telah menepis tangan
yang mencekal baju sang pemimpin. Sungguh, bagaimanapun saya tetap tak
menginginkan permusuhan di antara saudara. Sekali pun berita kekalahan yang
barusan tersiar telah membuat saya mempersiapkan sebuah rencana.
Karena itu, saya
cepat menyahuti si lelaki muda yang tiba-tiba saja menjadi begitu berani itu.
"Ya, dengarlah sahabat sekaligus pemimpinku, Gobel. Nama saya Titus,
engkau telah bertahun-tahun mengenalku. Keluargaku hampir seluruhnya mati dalam
medan pertempuran di hari naas itu. Namun kini, izinkanlah saya untuk
melepaskan kami semua punya kekuatan. Sebab bagi kami yang bodoh, memang tak
ada lagi makna yang terlalu cerdas untuk menterjemahkan kemerdekaan. Persetan,
Gobel. Sungguh persetan apa itu pengakuan! Karena cuma dengan melepaskan dendam
dan ketakutan, lalu pergi jauh ke dalam tanah milik kita sendiri, kita mungkin
bisa lebih tenang. Sungguh, siapa yang tak merindukan mantera para lelaki Dani
pada suatu malam, seperti kenangan kanak kita dulu?"
Mundro masih
menangis. Keras-keras digigitinya ketela yang barusan saja dicomot dari atas
piring. Peristiwa demi peristiwa demikian mengerikan. Mereka yang cerai-berai
oleh hujan cuma beberapa saja yang selamat. Walau pun perih, namun lelaki itu
masih mampu mengingatnya.
Gobel terhenyak.
Keningnya itu makin tampak berkerut. Perlahan, dia menurunkan kacamatanya di
atas sebuah buku lusuh. Lalu dia ikut bertekuk lutut bersama saya dan Mundro di
atas lantai tanah. Aku jadi memandang tak berkedip. Bagaimana pun, dia tetaplah
pemimpin kami, sampai kapan pun saya tetap akan mengingatnya. Kerendahan
hatinya tiba-tiba membuat kami terharu dan kehilangan bahasa. Lama juga kami
bertiga diam berpelukan sampai dirasakan sesenggukan pemuda Mundro mulai
menghilang.
"Pergilah kalau
itu memang keinginan kalian. Tapi sungguh rahasia tempat dan perjuangan kita
ini ditaruh atas nama nyawa dan perjuangan abadi kita semua. Selalu dan selalu.
Ingat?"
Kami berdua cepat
mengangguk.
Malamnya, upacara
untuk melepaskan kami pun diadakan. Penuh mantera. Penuh kegaiban. Kami tak
tahu apakah yang di depan kami sebuah kebahagiaan, ataukah justru perjuangan
ini yang dinamakan kesejatian?
Entahlah, sampai
sekarang pun saya tak bisa menjawab….
Dimana Mundro kini
berada? Pinggiran desa Tiom? Kuyawagi? Akh, dimana sajalah dia. Asal bukan
dalam kenangan di medan peperangan Mapenduma. Sampai mati pun, semua laki-laki
tak ada yang mau mengingatnya. Sedang saya sudah memutuskan untuk angkat kaki
dari tempat itu. Tapi sungguh, biar saya dikatakan menyerah, saya sungguh tak
mampu lagi menanggung trauma pembantaian keluarga saya dimasa lalu.
Saya lihat dan dengar
kabar dari gambar di tv, foto, koran dan isu teman di kota, sampai sekarang
Gobel masih bertahan di hutan sebelah timur sana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar